Selasa, 17 Januari 2017

SO FAR AWAY

2015. Aku ingin bercerita kepadamu tentang diriku kala itu yang merindu. Setelah selesai dari Kumbang, aku hanya menjadi diriku. Aku merasa sangat lelah. Kepalaku dipenuhi banyak kata kata yang ingin aku ungkapkan. Kala itu kita selesai tanpa pamitan, tanpa ada satu patah kata pun yang terucapkan. Aku benar benar ingin bicara dengan Kumbang, aku ingin bereaksi atas semuanya yang telah terjadi. Apa daya, aku hanya bisa berdiam diri, segala cara yang bisa aku tempuh untuk sebuah penjelasan ditutup rapat olehnya. Bahkan akun akun sosial media kala itu tanpa lewat satupun telah diblokir olehnya. Aku memang mengerti aku yang salah di situasi ini, dia berhak melakukan apapun yang dia mau tanpa harus meminta persetujuanku, termasuk menghilang. Sebetulnya, meskipun kala itu aku benar benar memiliki begitu banyak keinginan untuk bicara padanya, aku masih bisa menahannya karena aku tahu diri. Aku punya malu, ada kata yang berkecamuk dalam hatiku bahwa aku tidak haris melakukan hal itu untuk menghormati keputusannya. Harus aku akui, Kumbang sebelumnya adalah seseorang lelaki yang baik, yang pada akhirnya tersakiti, aku mengerti, amat jelas aku mengerti keadaan saat itu. Seseorang yang baik itu mungkin membenciku, ingin mengubur namaku dalam dalam. Itulah Kumbang dalam benakku... Hari demi hari terlalui. Pada dasarnya, semakin lama semakin aku sadar. Pada dasarnya, aku ingin menyikapi semua keadaan dengan tenang, meskipun itu sulit. Senja itu, aku mengingat beberapa kejadian yang pernah kita lalui bersama. Salah satunya, merayakan tahun baru dipuncak pergantian tahun 2014 ke 2015. Ditemani rintikan hujan tengah malam itu, aku sungguh bahagia. Menurutku, sejak malam itu Kumbang adalah seseorang yang bisa melindungiku, memperjuangkan meskipun itu sulit. Aku suka cara dia menatapku. Aku suka cara dia bilang rindu. Mungkin aku bisa mendapatkan hal yang sama dari orang lain, tetapi kala itu hanya dia yang aku mau. Beranjak dari pergantian malam tahun baru, kami semakin dekat dan lebih dekat lagi, berbicara lewat telepon di hampir setiap malam, sering bertemu meski hanya untuk motoran ditengah kota nggak jelas. Yah!! Membahas hal indah yang pernah aku lalui bersama Kumbang, memang membuat aku senang. Aku perlu menceritakan ke kalian karena aku ingin kalian tahu bahwa dia, Kumbang tahun 2015 sungguh dan sungguh mengasyikkan. Tidak ada satupun yang bisa menduga bahwa kini kami telah berakhir. Kami tidak akan pernah tahu bagaimana berikutnya dan seterusnya. Dulu kita memang begitu dekat, sekarang? Sudah hanyut bersama angan. Untukmu Kumbang dimanapun engkau berada. Aku sungguh meminta maaf atas semuanya yang telah terjadi. Aku seperti terlibat dalam drama, terlibat dalam kepura puraan, usaha usaha penyangkalan dalam diriku sendiri. Sejujur jujurnya aku masih ingin bersama sama dengan kumbang saat itu. Aku merasa kehidupanku lumpuh ditempa rasa bersalah yang dalam, tetapi aku percaya dalam perasaan kasih dan merindu semuanya akan menjadi adil, semuanya akan tahu sumbernya, semuanya akan kembali dijalan pulang. Akan tetapi Kumbang, berbeda dengan jika engkau terus dendam begini. Aku bukan tidak mau dibenci, aku tidak bisa dibenci. Karena aku akan terus terusan merasa terpuruk, merasa orang yang paling hina di jagad ini. Aku meminta maaf padamu untuk beberapa kali. Tapi tertutup oleh sendu... Sesuatu yang sangat aku butuhkan saat itu adalah penerimaan maaf darimu. Sesekali aku merasa perlu keluar dan mengobrol untuk menghilangkan kekhawatiranku, tetapi sejauh ini tetap tidak bisa, mungkin belum bisa. Aku hanya ingin membebaskan beban emosi dan perasaanku, tetapi aku tidak tahu jalannya. Sebetulnya, aku bisa saja tidak peduli atas apa yang telah aku lakukan, persoalan tentang perasaan yang labil macam ini. Tapi aku adalah jenis orang yang tidak sembarang membuang seseorang, apalagi dia adalah Kumbang. Yang aku dapat jari kejauhanku dengan Kumbang adalah aku harus berlatih untuk mengikhlaskan, menyesali perbuatan, tetapi aku harus bangkit dan percaya bahwa Tuhan itu adil. Tuhan tahu mana yang terbaik untuk umatnya. Melalui berbagai kesalahan yang dilakukan, aku belajar untuk bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Tanggung jawab memang sakit, tetapi lebih sakit bila menyayangi diberi sayatan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar